Senin, 19 September 2016

MAKALAH ISLAMISASI DAN SILANG KEBUDAYAAN DI NUSANTARA

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya, makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan Salam tetap kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, kepada sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya yang senantiasa menjalankan sunnah-sunnah beliau.
Tidak lupa penyusun ucapkan kepada Bapak/Ibu guru yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penyusun, dan juga teman-teman yang ikut menyumbang pikirannya sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Penyusun mohon kepada bapak/Ibu guru  khususnya, dan umumnya kepada para pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya makalah – makalah yang akan datang.


BAB I
Pendahuluan
       1.1  Latar belakang

Pada masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat beraneka ragam suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya. Suku bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, jika dilihat dari sudut antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa dan budaya dari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan Eropa. Struktur sosial, ekonomi, dan budayanya agak statis dibandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir, lebih-lebih di kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.

Proses Islamisasi di Indonesia
Dalam masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia, terdapat negara-negara yang bercorak Indonesia-Hindu. Di Sumatra terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu; di Jawa, Majapahit; di Sunda, Pajajaran; dan di Kalimantan, Daha dan Kutai. Agama Islam yang datang ke Indonesia mendapat perhatian khusus dari kebanyakan rakyat yang telah memeluk agama Hindu. Agama Islam dipandang lebih baik oleh rakyat yang semula menganut agama Hindu, karena Islam tidak mengenal kasta, dan Islam tidak mengenal perbedaan golongan dalam masyarakat. Daya penarik Islam bagi pedagangpedagang yang hidup di bawah kekuasaan raja-raja Indonesia-Hindu agaknya ditemukan pada pemikiran orang kecil. Islam memberikan sesuatu persamaan bagi pribadinya sebagai anggota masyarakat muslim. Sedangkan menurut alam pikiran agama Hindu, ia hanyalah makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada kasta-kasta lain. Di dalam Islam, ia merasa dirinya sama atau bahkan lebih tinggi dari pada orang-orang yang bukan muslim, meskipun dalam struktur masyarakat menempati kedudukan bawahan.

Proses islamisasi di Indonesia terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dua pihak: orang-orang muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat Indonesia sendiri yang menerimanya. Dalam masa-masa kegoncangan politik, ekonomi, dan sosial budaya, Islam sebagai agama dengan mudah dapat memasuki & mengisi masyarakat yang sedang mencari pegangan hidup, lebih-lebih cara-cara yg ditempuh oleh orang-orang muslim dalam menyebarkan agama Islam, yaitu menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang telah ada. Dengan demikian, pada tahap permulaan islamisasi dilakukan dengan saling pengertian akan kebutuhan & disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Pembawa dan penyebar agama Islam pada masa-masa permulaan adalah golongan pedagang, yang sebenarnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama untuk berkunjung ke Indonesia. Hal itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional antara negeri-negeri di bagian barat, tenggara, dan timur Asia.


1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana sejarah islamisasi dan silang  budaya nusantara ?
1.3.Tujuan
Agar kita mengetahui  sejarah islamisasi dan silang  budaya nusantara



BAB II
Pembahasan

Penyebaran islam merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia dan juga paling tidak jelas sumbernya. Secara umum ada dua proses yang mungkin telah terjadi. Pertama,penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama islam kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia yang telah memeluk agama islam tinggal secara tetap di suatu wilayah Indonesia .Ruang ligkup kajian sejarah islam, Indonesai sejak abad 14 sampai abad ke19 yang menjadi perhatian para sejarawan adalah bagaimana proses masuknya islam di Asia Tenggara termasuk nusantara, darimana asal islam, siapa yang membawa serta pengaruh yang dihasilkan akibat islamisasi tersebut. Banyak para ahli yang mengemukakan teori tentang kapan islam datang, dari mana asalnya, serta siapa pembawa islam tersebut. Berikut adalah beberapa teori yang di kemukakan oleh para ahli yang menjelaskan tentang darimana, siapa yang membawa, serta bukti yang ada tentang masuknya islam ke nusantara.
 Pijnappel mengemukakan bahwa asal islam adalah dari Gujarat/ Malabar, yang dibawa oleh Orang-orang yang bermadzhab syafi’i yang berimigarasi dan menetap di wilayah India. Snouck Hurgronje, menerangkan islam datang ke nusantara pada abad ke-12, yan berasal dari anak benua India, dan di bawa oleh Para pedagang yang sebagai perantara perdagangan Timur Tengah dengan nusantara datang ke dunia Melayu, kemudian di susul dengan orang-orang arab yang kebanyakan keturunan Nabi.Moquette, menerangkan bahwa islam berasal dari Gujarat, yang di bawa oleh Para pengimpor batu nisan dari gujarat dengan mengimpor batu nisan ini maka orang nusantara mengambil islam,

      2.1  Proses Islamisasi di Nusantara
Menurut Hasan Muarif Ambary ada tiga tahap proses islami¬sasi di Nusantara. Pertama, fase kehadiran para pedagang muslim (abad ke-1 sampai ke-4 H). Sejak permulaan abad Masehi kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara. Akan tetapi apakah ada data tentang masuknya penduduk asli ke dalam Islam? Meskipun ada dugaan bahwa dalam abad ke-1 sampai ke-4 H terdapat hubungan perkawinan antara pe¬dagang muslim dengan penduduk setempat, sehingga mereka memeluk agama Islam. Pada abad ke 1-4 H / 7-10 M Jawa tidak disebut-sebut sebagai tempat persinggahan pedagang. Mengenai adanya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik dengan angka tahun 475 H/1082 M bentuk maesan dan jiratnya menunjukkan pola gaya hias makam dari abad ke-16 M. Fatimi berpendapat bahwa nisan itu ditulis oleh orang Syiah dan ia bukan seorang muslim Jawa, tetapi seorang pendatang yang sebelumnya bermukim di timur jauh.
2.2. Proses Islamisasi di Sumatera
Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam.
Adanya berita dari Marcopolo yang mengatakan bahwa ketika ia mengunjungi Sumatera penduduk Sumatera Utara beragama Hindu kecuali Ferlec yang sudah beragama Islam dan adanya batu nisan kubur di Aceh dengan nama Sultan Al Malik al-Saleh yang berangka tahun wafat 1297 M menandakan bahwa Islam sudah tumbuh dan berkembang di wilayah Sumatera. Adapun teori yang mengatakan Islam masuk Indonesia abad ke-7 M, tidak lebih realitas “masuknya” yang dibawa oleh para pedagang muslim karena dalam perjalanan pelayaran dagang mereka ke dan dari Cina selalu singgah
2.3.   Proses Islamisasi di Jawa
Sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, di Jawa telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu dan kerajaan-kerajaan Budha yang cukup kokoh dan tangguh, bahkan sampai saat ini hasil peradabannya masih dapat disaksikan. Misalnya, candi Borobudur yang merupakan peninggalan Budha Mahayana dan kelompok candi Roro Jonggrang di desa Prambanan dan peninggalan-peninggalan lainnya yang tersebar di Jawa.Setelah agama Islam datang di Jawa dan Kerajaan Majapahit semakin merosot pengaruhnya di masyarakat, terjadilah pergeseran di bidang politik.
Menurut Sartono, islamisasi menunjukkan suatu proses yang terjadi cepat, terutama sebagai hasil dakwah para wali sebagai perintis dan penyebar agama Islam di Jawa. Di samping kewibawaan rohaniah, para wali juga berpengaruh dalam bidang politik, bahkan ada yang memegang pemerintahan. Otoritas kharismatis mereka merupakan ancaman bagi raja-raja Hindu di pedalaman.


 2.4. Persialangan Budaya di Nusantara
Indonesia secara tepat digambarkan Bung Karno sebagai “taman sari dunia”.  Sebagai “negara kepulauan” terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumberdaya yang berlimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus peradaban.

Menurut Denys Lombard (1996: I, 1), “Sungguh tak ada satu pun tempat di dunia ini—kecuali mungkin Asia Tengah—yang, seperti Nusantara, menjadi tempat kehadiran hampir semua kebudayaan besar dunia, berdampingan atau lebur menjadi satu.” Dia melukiskan adanya beberapa ‘nebula sosial-budaya’ yang secara kuat mempengaruhi peradaban Nusantara (secara khusus Jawa): Indianisasi, jaringan Asia (Islam dan China), serta arus pembaratan.

Pengaruh Indianisasi (Hindu-Budha) mulai dirasakan pada abad ke-5, bersama kemunculan dua kerajaan yang terkenal, Kerajaan Mulawarman di Kalimantan Timur dan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat sebagai pengikut setia Wisnu, yang kemudian berkembang secara luas dan dalam hingga seribu tahun kemudian (abad ke-15), terutama di Sumatra, Jawa dan Bali. Struktur konsentris kosmologi India berpengaruh pada mentalitas orang-orang di wilayah tersebut, terlebih di Jawa dan Bali, seperti tampak pada cara berfikir dan sistem tata susila, juga dalam upacara-upacara dan ungkapan seni.

Pengaruh Islamisasi mulai dirasakan secara kuat pada abad ke-13, dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Kerajaan Samudera-Pasai di sekitar Aceh. Dari ujung Barat Nusantara, pengaruh Islam secara cepat meluas ke bagian Timur meresapi wilayah-wilayah yang sebelumnya dipengaruhi Hindu-Budha, yang akselarasinya dipercepat justru oleh penetrasi kekuatan-kekuatan Eropa di Nusantara sejak abad ke-16. Kehadiran Islam membawa perubahan penting dalam pandangan dunia (world view) dan etos masyarakat Nusantara, terutama, pada mulanya, bagi masyarakat wilayah pesisir. Islam meratakan jalan bagi modernitas dengan memunculkan masyarakat perkotaan dengan konsepsi ‘kesetaraan’ dalam hubungan antarmanusia, konsepsi ‘pribadi’ (nafs, personne) yang mengarah pada pertanggungjawaban individu, serta konsepsi waktu (sejarah) yang ‘linear’, menggantikan konsepsi sejarah yang melingkar (Lombard, 1996: II, 149-242).

Pengaruh China hampir bersamaan dan saling meresapi (osmosis) dengan pengaruh Islam, yang mulai dirasakan setidaknya sejak abad ke-14 (zaman Dinasti Ming di China), ketika imigran-imigran baru dari Fujian dan Guangdong tiba di Nusantara, dan segera membaur ke dalam struktur sosial-budaya yang ada tanpa hambatan berarti (Coppel, 1983). Kehadiran anasir China berperan penting dalam memperkenalkan dan mengembangkan teknik produksi berbagai komoditi (gula, arak dan lain-lain), pemanfaatan laut untuk perikanan, pembudidayaan tiram dan udang, dan pembuatan garam, pengadopsian teknik serta perlengkapan perdagangan, gaya hidup  (arsitektur, perhiasan, hiburan,  tontonan, beladiri, dan romannya), peran sosial-budaya klenteng serta keterlibatan ulama keturunan China dalam proses Islamisasi (Lombard, 1996: II, 243-337). 

Pengaruh pembaratan diperkenalkan oleh kehadiran Portugis pada abad ke-16, disusul oleh Belanda dan Inggris. Tetapi aktor utamanya tak pelak lagi adalah Belanda. Sejak kedatangan armada pertama Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada 1596, yang disusul oleh operasi ’Serikat Perseroan Hindia Belanda’ (VOC) sejak 1602, secara berangsur proses pembaratan mulai dirasakan. Dengan jatuhnya VOC pada tahun 1799,  hegemoni atas Hindia diserahkan dari ‘perusahaan-swasta-kolonial’ kepada imperium negara-kolonial. Negara kolonial Belanda mulai menancapkan pengaruhnya setelah kekuasaan sementara Inggris selama perang Napoleon (1811-1816).

Sejak itu, sebagian besar kepulauan Nusantara secara berangsur dan berbeda-beda diintegrasikan ke dalam satu wilayah kekuasaan kolonial, yang mentransformasikan pusat-pusat kekuasaan yang terpencar ke dalam suatu negara kesatuan kolonial.  Intensifikasi proses pembaratan terjadi selama masa rezim ‘Liberal’ pada paruh kedua abad ke-19 yang dilanjutkan oleh rezim ‘Politik Etis’ pada awal ke-20 (Latif, 2005).

Pengaruh pembaratan membawa mentalitas modern yang telah dibuka oleh pengaruh Islam menuju perkembangan yang lebih luas dan dalam. Pada bidang sosial-ekonomi, pengaruh Barat memunculkan sistem perkebunan, perusahaan dan perbankan modern, pemakaian besi, perkembangan angkutan, khususnya kereta api, dan pengobatan modern. Pada bidang sosial-politik, pengaruhnya dirasakan pada modernisasi tata-kelola negara dan masyarakat, klub sosial, organisasi, dan bahasa politik modern. Pada bidang sosial-budaya, pengaruhnya tampak pada kehadiran lembaga pendidikan dan penelitian modern, perkembangan tulisan latin, percetakan dan pers, dan gaya hidup (Lombard, 1996: I).

Sedemikian ramainya penetrasi global silih berganti, sehingga Nusantara sebagai tempat persilangan jalan (carrefour) tidak pernah sempat berkembang tanpa gangguan dan pengaruh dari luar. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Denys Lombard (1996), situasi demikian tidak perlu dipandang sebagai kerugian. Posisi sebuah negeri pada persilangan jalan, pada titik pertemuan berbagai dunia dan kebudayaan, jika dikelola secara baik, mungkin dalam evolusi sejarahnya bisa membawa keuntungan, kalau bukan syarat untuk terjadinya peradaban agung.

2.3. Bukti – Bukti Peninggalan Islam di Indonesia
•          Masjid Agung Banten (bangun beratap tumpang)
•         Masjid Demak (dibangun para wali)
•          Karya seni  atau kaligrafi  
•         Nisan Di Leran, Gresik (Jawa timur) terdapat batu nisan bertuliskan bahasa dan huruf Arab, yang memuat keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 475 Hijriah (1082 M);
•         Karya sastra
Karya sastra yang dihasilkan cukup beragam. Para seniman muslim menghasilkan beberapa karya sastra antara lain berupa syair, hikayat, suluk, babad, dan kitab-kitab.Bukti-bukti peninggalan syair yang ada di nusantara antara lain :
(a)    Syair Perahu,karya Hamzah Fanzuriyang hidup di aceh pada masa pemerintahan sultan Alaidin Riayat Syah Syidil Mukam II (1589-1604)),Syair ini berisi pengajaran tentang adap.
(b)   Syair Kompeni Walanda,yang di dalamnya berisitentang riwayat Nabi.
2.4..Salah satu contoh Silang Budaya Indonesia Tiongkok di Bidang Seni Musik
 
1.Gambang kromong terdapat banyak lagu Tionghoa. Perkembangan music itu erat kaitannya dengan warga Tionghoa di Jakarta pada abad ke 18 yang bernama Nie Fugong. Justru atas prakarsa Nie lah, Gambang Kromong telah menyerap irama lagu-lagu Tionghoa.
Kemudian, Gambang Kromong mengiringi tidak saja lagu-lagu lama Jakarta, tapi juga lagu-lagu baru. Gambang Kromong tak dapat dipisahkan pula dengan music lenong. Namun, Gambang Kromong semakin terdesak seiring bertambah besarnya pengaruh music barat. Kawula muda kurang menunjukan minat terhadap Gambang Kromong. Dan, instrument yang digunakan di samping gambang, yakni alat-alat music Tingkok lain seperti qin dan erhu (rebab berdawai dua) berangsur-angsur digantikan oleh alat-alat music barat, seperti bilao, bass, dan suling; kadang-kadang bahkan menggunakan saksofon, terompet dan alat-alat music barat lainnya.
2.Musik Ujung Pandang
3.Lagu Indonesia di gemari Rakyat Tiongkok
Pada masa kini, salah satu lagu Indonesia yang paling awal popular di tingkok adalah “Bengawan Solo” yang sangat merdu iramannya. Komponis lagu itu, Gesang ketikan berkunjung di Tiongkok pada tahun 1963 pernah memberikan bimbingan kepada musisi muda Tiongkok untuk memainkan music tersebut. Lagu ini sangat digemari rakyat Tiongkok.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Proses islamisasi tidak mempunyai awal yang pasti, juga tidak berakhir. Islamisasi lebih merupakan proses berkesinambungan yang selain mempengaruhi masa kini, juga masa yang akan datang.Islam telah dipengaruhi oleh lingkungannya, tempat Islam ber-pijak dan berkembang. Di samping itu, Islam juga menjadi tra-disi tersendiri yang tertanam dalam konteks
 Agama Islam juga membawa perubahan sosial dan budaya, yakni memperhalus dan memperkembangkan budaya Indonesia. Penyesuaian antara adat dan syariah di berbagai daerah di Indonesia selalu terjadi, meskipun kadang-kadang dalam taraf permulaan mengalami proses pertentangan dalam masyarakat. Meskipun demikian, proses islamisasi di berbagai tempat di Indonesia dilakukan dengan cara yang dapat diterima oleh rakyat setempat, sehingga kehidupan keagamaan masyarakat pada umumnya menunjukkan unsur campuran antara Islam dengan kepercayaan sebelumnya. Hal tersebut dilakukan oleh penyebar Islam karena di Indonesia telah sejak lama terdapat agama (Hindu-Budha) dan kepercayaan animisme.

Pada umumnya kedatangan Islam dan cara menyebarkannya kepada golongan bangsawan maupun rakyat umum dilakukan dengan cara damai, melalui perdagangan sebagai sarana dakwah oleh para mubalig atau orang-orang alim. Kadang-kadang pula golongan bangsawan menjadikan Islam sebagai alat politik untuk mempertahankan atau mencapai kedudukannya, terutama dalam mewujudkan suatu kerajaan Islam.


Daftar  Pustaka
.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modem (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1991), him.
 Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002) hlm.20-21
] P.A. Hosein Djadjadiningrat, “Islam di Indonesia”, dalam Kennet Morgan, ed., Islam Djalan Mutlak, terj. Abu Salamah, ddk. (Djakarta : PT. Pembangunan, 1963), hlm. 99-140
Buku Silang Budaya Tiongkok Indonesia – Prof Kong Yuanzhi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar